Oleh Jamaludin Wiartakusumah
Keindahan panorama Tatar Sunda membuatnya mendapat julukan Parahyangan atau Priangan, yang berarti tempat para dewa. Konfigurasi alam Priangan tersusun dari pegunungan dan lembah yang menciptakan kontras tinggi-rendah, aneka warna alam berupa gradasi warna dedaunan dan pepohonan, membentuk hutan yang membungkus gunung, ditambah dengan sungai yang mengalir dari gunung ke lembah. Di atasnya matahari tropis menyinari setiap hari sepanjang tahun sehingga semua terang benderang.
Dalam makalahnya di KIBS (2001), Soewarno Darsoprajitno mengutarakan bahwa geografi tata ruang alam Parahyangan yang indah yang sudah tersedia inilah yang ikut membentuk perilaku budaya masyarakat Sunda menjadi toleran, apresiatif dan akomodatif. Di sisi lain, kondisi alam yang indah itu menciptakan masyarakat periang yang memiliki perbendaharaan kata khusus yaitu waas. Keindahan alam dan romantika kehidupan di dalamnya yang terkandung dalam kata waas, melahirkan karya seni yang khas dengan nada yang cenderung melankolik seperti tercermin dalam tembang Cianjuran. Budaya periang itu juga kemudian melahirkan budaya humor, uniknya malah berbentuk parodi yang menertawakan diri sendiri, seperti tercermin dalam cerita Si Kabayan.
Menurut Ajip Rosidi, konsep keindahan yang dipahami masyarakat Sunda memiliki hubungan timbal-balik (dialektik) antara alam dan rekaan. Ungkapan indah bagai lukisan, menunjuk pada objek di alam yang indah dan sebaliknya bila ada lukisan dengan objek dari alam yang benar-benar bagus maka ungkapannya menjadi indah seperti kenyataan.
Orang Kanekes (Baduy) menyebut motif tenunan dan ukiran pada hulu golok yang mereka buat dengan istilah pamandangan, suatu objek yang indah atau menyenangkan untuk dipandang sebagaimana pemandangan alam
Menurut HR Hidayat Suryalaga, dalam kebudayaan Sunda, estetika tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan sangat erat dengan etika. Etika adalah masalah ukuran salah dan benar, baik dan buruk, berhubungan dengan ajaran religi, moral, akhlak, tatakrama, sopan santun, dll. Dalam implementasinya, estetika hakikatnya dipakai sebagai wadah dan etika adalah isi. Isi harus bermanfaat bagi martabat kemanusiaan baik pribadi maupun komunal, sedang bungkus atau wadahnya harus indah agar melahirkan kenikmatan indrawi dan lahir batin manusia.
Seni Rupa Antik
Dalam naskah Siksakandang Karesian (ditulis sekitar tahun 1518) terdapat keterangan mengenai berbagai profesi pertukangan dan karyanya, yang dilihat kaca mata sekarang, sebagian besar masuk dalam wilayah pekerjaan dan karya seni rupa. Termasuk di dalamnya adalah desain dan kriya. Ahli atau tukang ukir disebut maranggi, dengan motif ukirannya antara lain naga-nagaan, barong-barongan, ukiran burung, ukiran kera dan ukiran singa.
Tukang tenun atau ahli tekstil disebut pangeuyeuk dengan corak atau motif tenunan seperti kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten. Secara kirata, kalangkang ayakan (bayangan ayakan-alat pengayak atau penyaring) tampaknya berupa motif garis vertikal dan horisontal sebagaimana bentuk ayakan.
Adapun tukang atau ahli gambar disebut lukis dengan berbagai corak lukisan yaitu pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate. Bila istilah urang-urangan berasal dari kata urang (orang), tampaknya gaya lukisan itu adalah lukisan dengan model manusia yang sangat boleh jadi adalah yang sekarang kita kenal dengan lukisan potret.
Konon Hayam Wuruk mengenal kecantikan Diah Pitaloka dan jatuh cinta kepadanya hanya dengan melihat lukisan Diah Pitaloka yang dibawa utusan Majapahit dari kerajaan Galuh. Hal ini menunjukkan seni lukis potret telah berkembang sejak dahulu kala. Tampak juga bahwa seni pada waktu itu, merupakan bentuk peniruan dari alam.
Makna Perabotan
Produk seni tradisional merupakan warisan masyarakat budaya mitis, memiliki estetikanya sendiri yang berbeda dengan estetika seni budaya modern yang ontologis (Jakob Sumardjo, 2000:319-322).
Produk seni tradisional, termasuk desain atau kriya dalam bentuk perabotan, senantiasa memiliki kaitan makna dengan kosmos atau alam yang lebih luas. Dengan begitu, perabotan dibuat selain dengan bentuk yang memenuhi aspek utilitas juga dengan bentuk yang memiliki makna kosmologis. Lihatlah wadah padi atau beras seperti nyiru (alat penampi gabah), aseupan (kukusan) dan jahas (piring dari kayu khas warga Kanekes dan boboko (bakul) serta baris (bakul khas warga Kanekes) dan leuit. Perabotan itu dibuat dari bentuk dasar lingkaran, segitiga dan segi empat.
Dalam estetika Sunda, bentuk segitiga dengan salah satu sudut berada di atas (nyungcung) adalah perlambang tempat suci, seperti istilah buana nyungcung, tempat dalam kosmologi Sunda untuk “dunia atas” tempat Nu Ngersakeun (Tuhan Yang Maha Esa) dan bale nyungcung untuk tempat beribadah seperti masjid. Adapun bentuk lingkaran dimaknai sebagai keyakinan dan keimanan sebagaimana terdapat dalam ungkapan “niat kudu buleud” (niat harus bulat). Segi empat melambangkan perilaku yang sempurna sebagaimana ungkapan “hirup kudu masagi” (hidup harus seperti bentuk bujursangkar).
Padi, dalam mitologi dan kosmologi Sunda, berasal dari Nyi Pohaci Sang Hyang Asri. Dengan demikian masyarakat tradisional seperti di Kanekes memperlakukan padi sehormat mungkin (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:78). Itulah sebabnya perabotan wadah padi atau beras tersebut dibuat dengan bentuk segitiga, lingkaran dan segi empat. Nyiru berbentuk bulat, sedangkan aseupan berbentuk kerucut memiliki bentuk garis luar segitiga berbentuk susunan lingkaran dari kecil hingga besar. Sementara boboko dan baris, terdiri dari susunan bentuk segi empat pada bagian dasar (soko) yang secara perlahan berubah jadi lingkaran pada bagian tengah menuju bentuk lingkaran sempurna di bagian atas. Adapun leuit antik umumnya menggunakan denah berbentuk bujursangkar.
Dari contoh tersebut tampak bahwa bentuk dan tempat tradisional dikonstruksi secara substansial dengan konsep estetika wadah dan isi yang menyatu. Bentuk disusun secara estetika sekaligus mengandung makna yang bermuatan etika.
Dimuat rubrik Anjungan Kompas Jawa Barat
Sabtu 28 Februari 2009