Kamis, 18 Februari 2010

Estetika Sunda

Estetika Sunda

Oleh Jamaludin Wiartakusumah

Keindahan panorama Tatar Sunda membuatnya mendapat julukan Parahyangan atau Priangan, yang berarti tempat para dewa. Konfigurasi alam Priangan tersusun dari pegunungan dan lembah yang menciptakan kontras tinggi-rendah, aneka warna alam berupa gradasi warna dedaunan dan pepohonan, membentuk hutan yang membungkus gunung, ditambah dengan sungai yang mengalir dari gunung ke lembah. Di atasnya matahari tropis menyinari setiap hari sepanjang tahun sehingga semua terang benderang.

Dalam makalahnya di KIBS (2001), Soewarno Darsoprajitno mengutarakan bahwa geografi tata ruang alam Parahyangan yang indah yang sudah tersedia inilah yang ikut membentuk perilaku budaya masyarakat Sunda menjadi toleran, apresiatif dan akomodatif. Di sisi lain, kondisi alam yang indah itu menciptakan masyarakat periang yang memiliki perbendaharaan kata khusus yaitu waas. Keindahan alam dan romantika kehidupan di dalamnya yang terkandung dalam kata waas, melahirkan karya seni yang khas dengan nada yang cenderung melankolik seperti tercermin dalam tembang Cianjuran. Budaya periang itu juga kemudian melahirkan budaya humor, uniknya malah berbentuk parodi yang menertawakan diri sendiri, seperti tercermin dalam cerita Si Kabayan.

Menurut Ajip Rosidi, konsep keindahan yang dipahami masyarakat Sunda memiliki hubungan timbal-balik (dialektik) antara alam dan rekaan. Ungkapan indah bagai lukisan, menunjuk pada objek di alam yang indah dan sebaliknya bila ada lukisan dengan objek dari alam yang benar-benar bagus maka ungkapannya menjadi indah seperti kenyataan.

Orang Kanekes (Baduy) menyebut motif tenunan dan ukiran pada hulu golok yang mereka buat dengan istilah pamandangan, suatu objek yang indah atau menyenangkan untuk dipandang sebagaimana pemandangan alam

Menurut HR Hidayat Suryalaga, dalam kebudayaan Sunda, estetika tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan sangat erat dengan etika. Etika adalah masalah ukuran salah dan benar, baik dan buruk, berhubungan dengan ajaran religi, moral, akhlak, tatakrama, sopan santun, dll. Dalam implementasinya, estetika hakikatnya dipakai sebagai wadah dan etika adalah isi. Isi harus bermanfaat bagi martabat kemanusiaan baik pribadi maupun komunal, sedang bungkus atau wadahnya harus indah agar melahirkan kenikmatan indrawi dan lahir batin manusia.

Seni Rupa Antik

Dalam naskah Siksakandang Karesian (ditulis sekitar tahun 1518) terdapat keterangan mengenai berbagai profesi pertukangan dan karyanya, yang dilihat kaca mata sekarang, sebagian besar masuk dalam wilayah pekerjaan dan karya seni rupa. Termasuk di dalamnya adalah desain dan kriya. Ahli atau tukang ukir disebut maranggi, dengan motif ukirannya antara lain naga-nagaan, barong-barongan, ukiran burung, ukiran kera dan ukiran singa.

Tukang tenun atau ahli tekstil disebut pangeuyeuk dengan corak atau motif tenunan seperti kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten. Secara kirata, kalangkang ayakan (bayangan ayakan-alat pengayak atau penyaring) tampaknya berupa motif garis vertikal dan horisontal sebagaimana bentuk ayakan.

Adapun tukang atau ahli gambar disebut lukis dengan berbagai corak lukisan yaitu pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate. Bila istilah urang-urangan berasal dari kata urang (orang), tampaknya gaya lukisan itu adalah lukisan dengan model manusia yang sangat boleh jadi adalah yang sekarang kita kenal dengan lukisan potret.

Konon Hayam Wuruk mengenal kecantikan Diah Pitaloka dan jatuh cinta kepadanya hanya dengan melihat lukisan Diah Pitaloka yang dibawa utusan Majapahit dari kerajaan Galuh. Hal ini menunjukkan seni lukis potret telah berkembang sejak dahulu kala. Tampak juga bahwa seni pada waktu itu, merupakan bentuk peniruan dari alam.

Makna Perabotan

Produk seni tradisional merupakan warisan masyarakat budaya mitis, memiliki estetikanya sendiri yang berbeda dengan estetika seni budaya modern yang ontologis (Jakob Sumardjo, 2000:319-322).

Produk seni tradisional, termasuk desain atau kriya dalam bentuk perabotan, senantiasa memiliki kaitan makna dengan kosmos atau alam yang lebih luas. Dengan begitu, perabotan dibuat selain dengan bentuk yang memenuhi aspek utilitas juga dengan bentuk yang memiliki makna kosmologis. Lihatlah wadah padi atau beras seperti nyiru (alat penampi gabah), aseupan (kukusan) dan jahas (piring dari kayu khas warga Kanekes dan boboko (bakul) serta baris (bakul khas warga Kanekes) dan leuit. Perabotan itu dibuat dari bentuk dasar lingkaran, segitiga dan segi empat.

Dalam estetika Sunda, bentuk segitiga dengan salah satu sudut berada di atas (nyungcung) adalah perlambang tempat suci, seperti istilah buana nyungcung, tempat dalam kosmologi Sunda untuk “dunia atas” tempat Nu Ngersakeun (Tuhan Yang Maha Esa) dan bale nyungcung untuk tempat beribadah seperti masjid. Adapun bentuk lingkaran dimaknai sebagai keyakinan dan keimanan sebagaimana terdapat dalam ungkapan “niat kudu buleud” (niat harus bulat). Segi empat melambangkan perilaku yang sempurna sebagaimana ungkapan “hirup kudu masagi” (hidup harus seperti bentuk bujursangkar).

Padi, dalam mitologi dan kosmologi Sunda, berasal dari Nyi Pohaci Sang Hyang Asri. Dengan demikian masyarakat tradisional seperti di Kanekes memperlakukan padi sehormat mungkin (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:78). Itulah sebabnya perabotan wadah padi atau beras tersebut dibuat dengan bentuk segitiga, lingkaran dan segi empat. Nyiru berbentuk bulat, sedangkan aseupan berbentuk kerucut memiliki bentuk garis luar segitiga berbentuk susunan lingkaran dari kecil hingga besar. Sementara boboko dan baris, terdiri dari susunan bentuk segi empat pada bagian dasar (soko) yang secara perlahan berubah jadi lingkaran pada bagian tengah menuju bentuk lingkaran sempurna di bagian atas. Adapun leuit antik umumnya menggunakan denah berbentuk bujursangkar.

Dari contoh tersebut tampak bahwa bentuk dan tempat tradisional dikonstruksi secara substansial dengan konsep estetika wadah dan isi yang menyatu. Bentuk disusun secara estetika sekaligus mengandung makna yang bermuatan etika.

Dimuat rubrik Anjungan Kompas Jawa Barat
Sabtu 28 Februari 2009

Selasa, 16 Desember 2008

UUD 1945 Rasa Sunda

Di muat di rubrik Anjungan Kompas Jawa Barat, Sabtu 9 Juni 2007

UUD 1945 “Rasa Sunda”

Oleh Jamaludin Wiartakusumah

Saterusna, pikeun ngawangun hiji Pamaréntahan Nagara Indonésia nu nangtayungan sakumna bangsa Indonésia jeung sakuliah lemah cai Indonésia sarta pikeun ngamajukeun karaharjaan umum, nyerdaskeun kahirupan bangsa, jeung milu ngalaksanakeun katartiban dunya dumasar kana kamerdekaan, karépéhrapihan anu langgeng jeung kaadilan sosial, nya disusun éta kamerdékaan kabangsaan Indonésia teh dina hiji Undang-Undang Dasar Nagara Indonésia, winangun nagara Républik Indonésia nu ngagem kadaulatan rayat sarta dumasar kana Katuhanan Nu Maha Esa, kamanusaan nu adil jeung beradab, persatuan Indonésia, jeung karayatan nu dipingpin ku hikmah kawijaksanaan dina permusawarahan/perwakilan, dari jeung ngawujudkeun kaadilan sosial pikeun sakumna rakyat Indonésia.

Kalimat di atas adalah paragraf ketiga Bubuka (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dialibahasakan ke dalam bahasa Sunda. Alih bahasa UUD 1945 ke dalam bahasa daerah adalah program Mahkamah Konstitusi yang patut diacungi dua jempol. Upaya cemerlang ini untuk memperkuat basis kebangsaan Indonesia dengan cara melakukan internalisasi konstitusi negara ke dalam kebudayaan Nusantara, dalam hal ini bahasa daerah yang beraneka ragam

Maka, UUD 1945 itu akan menjadi the living constitution karena ada dalam bahasa daerah dan dengan begitu dapat dipahami lebihmudah oleh masing-masing pemakai bahasa daerah tersebut.

Upaya penerjemahan ke dalam bahasa Sunda, yang barangkali juga dialami panitia alih bahasa daerah lain, ternyata tidak mudah. Beberapa bagian kalimat dalam konstitusi itu tampaknya tidak dapat diterjemahkan sesuai dengan ‘rasa’ bahasa Sunda, bahkan untuk kata atau kalimat yang tampak sudah sangat akrab. Contohnya frasa Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 di atas hanya mengalami sedikit perubahan menjadi Katuhanan Nu Maha Esa.

Tuhan dalam bahasa Sunda disebut Pangeran atau Gusti. Ketuhanan tampaknya tidak dapat diterjemahkan menjadi kapangeranan atau kagustian karena faktor rasa bahasa. Terjemahan Ketuhanan Yang Maha Esa secara per kata bisa Kapangeranan Anu Tunggal, tetapi rasa bahasa Sunda di frasa itu janggal karena ketuhanan itu mengandung makna kepercayaan kepada Tuhan. Adapun kapangeranan menunjuk pada sifat yang dimiliki Pangeran. Demikian halnya bila diterjemahkan Kapercayaan ka Pangeran Anu Tunggal, frasa itu tampak tidak mengena dengan rasa bahasa Sunda, salah satunya karena tunggal juga terdapat dalam bahasa Indonesia.

Sejarah kata Tuhan sendiri konon berasal dari upaya menerjemahkan God dan Lord dalam Injil ke dalam bahasa Indonesia di masa kolonial. Kata itu aslinya Tuan, yang karena faktor dialek mendapat sisipan h. Sekarang kata Tuan hanya dipakai pada bon toko dan kartu berobat.

Monoteis

Edi S Ekadjati dalam Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (1995) mengungkapkan tentang agama dan kepercayaan orang Kanekes yang disebut agama Sunda Wiwitan atau Sunda Asli. Tuhan atau sistem kekuasaan tertinggi dalam agama Sunda Wiwitan berada pada Tuhan yang disebut dengan sifatnya, Sang Hyang Keresa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Nu Ngersakeun (Tuhan Yang Maha Berkehendak), Batara Jagat (Penguasa Alam), Batara Seda Niskala (Yang Gaib) dan Batara Tunggal.

Sebutan untuk Tuhan yang senada dengan Tuhan Yang Maha Esa hanya Batara Tunggal. Yang terakhir ini, meskipun bermakna esa, tentu sulit diterima dan tidak cukup memadai sebagai versi Sunda sekarang untuk Tuhan Yang Maha Esa karena sebagian besar orang Sunda menganut Islam.

Tuhan didekati orang Sunda tidak dengan bilangan, tetapi dengan sifat-sifat seperti Nu Welas Asih (Yang Maha Pengasih dan Penyayang), sedang sisi kekuasaan terungkap dalam Nu Maha Kawasa (Yang Maha Kuasa), Nu Murbeng Alam (Yang Menguasai Alam). Bahwa Tuhan itu Maha Esa, satu atau tunggal, dalam pandangan religiusitas orang Sunda tampaknya sudah merupakan sifat built-in atau nature (fitrah) Tuhan hingga tidak lagi menjadi urusan penyebutan.

Monoteisme sudah merupakan landaran beragama orang Sunda sejak dahulu kala ketika karuhun orang Sunda menganut agama Sunda Wiwitan atau agama Sunda Asli. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala (Edi S Ekadjati, 1999:73). Konsep dewa dari India disesuaikan dengan sistem kepercayaan lokal yang monoteis. Akar monoteisme itu sering dijadikan alasan logis bila orang mempertanyakan proses masuknya Islam ke Tatar Sunda yang relatif mudah. Dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, wilayah Tatar Sunda dahulu hanya perlu satu, yaitu Sunan Gunung Jati. Meskipun bernada gurauan, kenyataan ini menunjukkan bahwa bagi orang Sunda, hal pokok konsep ketuhanan adalah monoteis.

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah konsep kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan yang monoteis. Dalam hal penerjemahan ke dalam bahasa Sunda, yang relatif tetap dengan katuhanan dan esa, tampaknya sebagai tanda keikutsertaan Sunda dalam syahadat monoteis nasional tersebut. Selamat datang Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Sunda!

Jamaludin Wiartakusumah

Dosen Desain Itenas

Mencermati Ajaran Karuhun

Dimuat Kompas Jawa Barat Sabtu 14 Juli 2007

Mencermati Ajaran Karuhun

Oleh: Jamaludin Wiartakusumah

Ketika ribut-ribut soal melemahnya ‘daya saing’ orang Sunda bahkan di kampung halamannya sendiri, banyak kritik kemudian dialamatkan pada berbagai watak atau karakter manusia Sunda. Upaya introspeksi yang kemudian menyalahkan ajaran karuhun yang umumnya terpatri dalam bentuk pepatah yang mengandung nilai filsafat praktis petunjuk hidup. Someah hade ka semah (bersikap ramah pada tamu) digugat. Ajaran karuhun itu dituding telah membuat mental orang Sunda lembek dan terlalu lunak pada pendatang. Sebuah gugatan yang salah kaprah mengingat ujaran itu mempunyai nilai luhur dan universal untuk bersikap baik pada sesama.

Gugatan itu juga seolah menutup mata terhadap kenyataan bahwa sudah sejak dahulu kala Tatar Sunda didatangi orang dari berbagai penjuru Tanah Air. Banyak tokoh nasional dalam segala bidang, sejak sebelum kemerdekaan, yang pernah menetap di Bandung. Dari Bung Karno yang jadi insinyur dan mendirikan PNI sampai Affandi yang mendirikan Persagi. Di bidang militer, hampir dapat dipastikan seluruh jenderal, marsekal dan laksamana pernah menetap di Bandung karena Seskogab berada di Bandung. Sedikit banyak pernah berinteraksi dengan kebudayaan dan masyarakat Sunda serta alam Parahyangan.

Manusia Sunda sudah lama berinteraksi dengan kebudayaan luar yang masuk baik langsung melalui pendatang maupun pengaruh modernisasi plus westernisasi. Bisa jadi justeru karena tidak lagi mengamalkan ajaran karuhun itulah manusia Sunda lalu terpuruk. Memahami ungkapan atau pepatah orangtua sebaiknya tidak hanya satu dua kalimat saja, tetapi harus dicermati konteksnya dan kalau mungkin memahami keseluruhan ajaran itu. Ada banyak petunjuk hidup warisan leluhur untuk setiap segi kehidupan. Masing-masing, tentu ada yang bersifat kontekstual atau kondisional.

Harmoni

Untuk hidup rukun, ada rumus hidup harmonis yang diungkap dalam runtut raut sauyunan (hidup rukun bersama). Kebersamaan hidup dirumuskan dalam satata sariksa (satu aturan bersama-sama memelihara). Konsep ‘daya saing’ yang diserap dari luar tanpa penyesuaian dengan nilai yang dianut budaya lokal, mengakibatkan keruhnya kondisi secara umum karena istilah itu dipahami hidup untuk bersaing dimana-mana dan dengan segala cara. Akibatnya, lihatlah di jalan raya. Bukannya saling memberi kemudahan bagi yang lain, tapi malah saling serobot. Budaya antri dianggap sebagai ciri penakut, bukannya ciri manusia berbudaya tinggi.

Sikap yang ada di masyarakat bukanlah ‘saling bersaing’ tapi justeru sebaliknya, terutama dalam budaya desa, yaitu gotong royong, kerjasama atau saling membantu, saling mendukung dan kalau bisa guyub untuk kebaikan bersama dalam konteks hidup bermasyarakat. Seperti terdapat dalam ajaran Silih Asah Silih Asuh Silih Asih. Siliwangi sendiri konon berasal dari kata silih wangi yang artinya saling mengharumkan nama dalam pengertian saling mendorong dan mendukung mencapai prestasi.

Sementara siger tengah (meletakkan mahkota di tengah kepala) menunjukkan sikap untuk hidup moderat. Harus seperti apa orang Sunda hidup, terdapat dalam pepatah ‘hirup kudu masagi’ (hidup harus seperti bentuk bujursangkar). Maksudnya hidup harus dijalani dalam kualitas yang sama di semua sisi, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga etika dan keluhuran budi, mencari kehidupan yang lebih baik tapi juga dibarengi ibadah. Tidak hanya menjalin hubungan dengan Tuhan tetapi juga dengan sesama manusia. Berusaha mencari bekal hidup di dunia dan sekaligus di akhirat nanti. Elmu tungtut dunya siar (ilmu pelajari, kekayaan juga cari).

Dalam masalah kepemilikan atau properti, ada etika yang harus dijalankan, yaitu Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (mengambil milik orang lain harus minta izin/memberitahu pemiliknya terlebih dahulu). Setiap benda mempunyai pemiliknya dan orang harus minta izin untuk mendapatkannya atau melakukan jual-beli untuk memperolehnya.

Bagaimana sebaiknya memecahkan masalah, ada caina herang laukna beunang (airnya jernih ikannya dapat). Uraikan dahulu permasalahan satu persatu sehingga semua kerumitan terurai dan menjadi jernih. Dalam kondisi jernih seperti itu -termasuk pikiran- setiap masalah dapat ditemukan penyelesaiannya.

Berani Menghadapi Resiko

Kumaha engke (bagaimana nanti) dianggap sikap nekat tanpa perhitungan dan dianggap sikap sembrono dalam menghadapi masalah. Sikap yang tentu saja disalahkan karena hanya dipahami semata sebagai tidak punya perencanaan yang baik dan matang. Segala sesuatu sepertinya dipikirkan belakangan. Padahal untuk sampai mengatakan kalimat itu, orang sudah melalui proses berpikir cepat untuk menganalisis permasalahan yang terjadi. Tidak lantas berarti nekat, tapi justeru telah dapat menyimpulkan permasalahan, perencanaan dan penyelesaian berbagai kemungkinan. Kumaha engke adalah bersiap untuk hal yang akan terjadi di luar yang diperkirakan. Sesungguhnya ini sikap optimis, percaya diri dan berani mengambil resiko. Bentuk lain adalah kop badak kop maung (siap menghadapi segala resiko terburuk). Sikap teguh tercermin dari teu unggut kalinduan teu gedag kaanginan (tidak goyah kena gempa tidak berubah kena angin).

Minimnya orang Sunda yang menjadi pimpinan terutama dalam skala nasional dianggap akibat sikap mental ‘mangga ngiringan, kumaha saena’ atau ‘kumaha nu dibendo’. Sikap ini sesungguhnya hanya berlaku dalam konteks hubungan kerja bawahan dan pimpinan. Orang harus tahu diri terhadap posisi dan ungkapan tadi hanya menunjukkan sikap loyal yang hanya ditunjukkan bawahan pada atasan yang memang dipercaya sepenuhnya dapat mengambil keputusan yang baik. Orang harus loyal pada lembaga tempatnya bekerja, pimpinan dan negara. Sikap ini juga terdapat dalam ‘Parentah gancang lakonan, panyaur geura temonan, pamundut gancang caosan’ (Her Suganda, 2006:42).

Dalam masalah ekonomi seperti mengatur keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran, ada saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa (sedikit harus cukup, banyak harus ada sisa). Ketika pendapatan sedikit, orang harus dapat mengaturnya sedemikian rupa sehingga mencukupi kebutuhan.

Dari beberapa contoh di atas tampak, bukan ajaran karuhun yang harus dipermak, tapi telaah lebih dalam yang harus dilakukan!

Jamaludin Wiartakusumah

Dosen Desain Itenas

Senin, 15 Desember 2008

Museum Kampung Sunda





Museum “Kampung Sunda”

Oleh: Jamaludin Wiartakusumah

Selain museum berupa bangunan yang di dalamnya disimpan berbagai artefak sesuai dengan tema atau nama museum, terdapat jenis museum yang disebut “open air museum” atau museum terbuka. Disebut demikian karena bentuk museum tersebut tidak hanya berupa suatu unit bangunan yang didalamnya disimpan dan dipamerkan artefak budaya, tetapi sebagian besar museum jenis ini mengoleksi berbagai bangunan tua.Biasanya dengan setting yang mengikuti lanskap masa lalu tempat bangunan tersebut berada. Dengan begitu, museum terbuka ini dapat juga disebut sebagai “museum bangunan”.

Museum terbuka umumya menempatkan bangunan sebagaimana aslinya di lokasi museum dengan cara memindahkan dari lokasi aslinya dengan membangunnya kembali dengan utuh dan sedapat mungkin sesuai dengan keadaan di lokasi asli. Keunikan lain dari museum jenis ini adalah adanya upaya untuk menghidupkan koleksi museum dengan cara mempraktekkan kehidupan yang pernah dijalani pada masa ketika masyarakat menghuni rumah model yang dikoleksi museum tersebut.

Berbagai kegiatan digelar menurut agenda yang sebagian besar melibatkan pengunjung untuk serta berpartisipasi dalam setiap kegiatan di museum terbuka tersebut. Pada beberapa museum terbuka, setiap bangunan dihuni oleh satu unit keluarga atau lebih yang masing-masing melakukan model kehidupan sesuai dengan konteks jaman ketika hunian tersebut dipakai. Mereka juga bertindak sebagai pemandu bagi pengunjung baik dalam bentuk informasi maupun dalam melakukan suatu kegiatan yang khas.

Museum jenis open air museum pertama kali muncul di kawasan Skandinavia pada akhir abad 19 yaitu di dekat Olso Norwegia yang dibangun pada tahun 1881. Museum ini merupakan koleksi Raja Oscar II dengan koleksi berupa 8 hingga 10 bangunan yang diambil dari berbagai wilayah di Norwegia. Masing-masing bangunan menunjukkan evolusi bangunan tradisional Norwegia sejak Abad Pertengahan. Dengan menggunakan model museum terbuka di Oslo diatas, pada 1891, Artur Hazelius membangun museum terbuka Skansen di Stockholm Swedia yang kemudian menjadi sangat terkenal. Musem Skansen ini kemudian menjadi model museum terbuka yang dibangun berikutnya di seluruh Eropa Utara dan Timur dan juga di bagian lain dunia. Nama “Skansen” kemudian juga menjadi istilah yang mengacu pada open air museum dan koleksi arsitektur historis, terutama di Eropa tengah dan timur.

Pada tahun 1997, saya berkesempatan mengunjungi Frilandmuseet, yaitu museum terbuka di Denmark. Museum terbuka ini adalah yang terbesar dan salah satu yang tertua di dunia berada di Kongens Lyngby (baca: Lungbu), di utara Kopenhagen dengan luas sekitar 40 hektar. Museum ini pertama kali dibangun pada 1897 dan pada 1901 dipindahkan ke tempatnya sekarang. Museum tersebut menampung 50 lahan pertanian, kincir angin dan sekitar 100 berbagai bentuk rumah pada periode 1650 hingga 1950. Model rumah yang dikoleksi berasal dari berbagai tempat di Denmark termasuk bekas wilayah Denmark yang sekarang masuk wilayah Swedia dan Jerman.

Museum terbuka ini umumnya dilengkapi oleh pemandu yang berpakaian tradisional yang pada waktu-waktu tertentu mendemonstrasikan pekerjaan zaman dulu seperti menenun, menyulam dan pembuatan peralatan memancing kepada pengunjung yang juga diajak ikut serta melakukan berbagai kegiatan tersebut. Dewasa ini museum terbuka tersebar di hampir setiap negara di seluruh dunia. Menurut Wikipedia, di Eropa sendiri terdapat sekitar 250 museum terbuka dalam skala nasional dan regional atau wilayah yang lebih kecil. Di Amerika sekitar 27 museum terbuka, di Kanada 16, di Afrika terdapat di Kairo Mesir yang menggambarkan perkampungan zaman Fir’aun.

“Kampung Sunda”

Dari keberagaman model hunian tradisonal Sunda yang sebagian berada di berbagai kampung adat yang tersebar mulai dari Kampung Kuta Ciamis Jawa Barat hingga Kanekes (Baduy) di Lebak Banten, budaya hunian masyarakat Sunda tradisional memiliki potensi untuk dikumpulkan dalam suatu kawasan dalam bentuk museum terbuka. Dalam konteks lokal Indonesia, istilah open air museum sangat mungkin diadopsi ke dalam bahasa lokal, misalnya museum terbuka “Kampung Sunda” dengan nama populer “Kampung Sunda”.

Koleksinya terdiri dari berbagai rumah asli atau bangunan khas diambil dari seluruh wilayah budaya Sunda, baik yang berada di kampung adat atau wilayah lain di luar kampung adat dengan kriteria rumah tradisional yaitu dengan ciri utamanya berupa desain vernakular yang merepresentasikan suatu komunitas Sunda di suatu wilayah. Dengan begitu, Museum “Kampung Sunda” adalah kompleks atau kawasan yang mengoleksi dan memamerkan serta ‘menghidupkan’ berbagai bentuk hunian tradisional (arsitektur vernakular) asli masyarakat Sunda.

Unsur yang tidak kalah penting dari Museum “Kampung Sunda” tersebut adalah kondisi lingkungan tempat asal setiap model hunian harus dapat diwujudkan di sekitar rumah tersebut. Kondisi aslinya ini akan memberi atmosfer yang memberi gambaran sesungguhnya tentang keberadaan rumah tradisional tersebut. Sarana seperti jalan setapak, sawah, huma, kolam, leuit dan sarana lain yang umumnya terdapat di suatu kampung tradisional Sunda. Hal ini menyangkut pada mata pencaharian utama suatu komunitas tradisional termasuk keberadaan pohon kawung mengingat sebagian mata pencaharian masyarakat tradisional adalah penyadap pohon kawung untuk dibuat gula aren (gula merah dari pohon kawung).

Lokasi

Lokasi Museum “Kampung Sunda” ini sebaiknya di sekitar Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat yang juga dianggap sebagai puseur budaya Sunda.Untuk merepresentasikan kawasan asli rumah-rumah adat atau rumah tradisional Sunda, lokasi Museum “Kampung Sunda” harus disesuaikan dengan karakteristik khas lingkungan umumnya rumah tradisional sebagaimana di habitat aslinya yaitu di dataran tinggi atau pegunungan.

Jatinangor atau Ujung Berung barangkali lokasi yang potensial. Tentu dengan juga mengakomodasi habitat asli rumah tradisional dari kawasan pantai utara dan selatan.

Selain rumah-rumah tradisional dari berbagai lokasi di dalam habitat budaya Sunda, Museum “Kampung Sunda” dilengkapi dengan hotel berjenis resor dengan arsitektur persis seperti rumah antik yang dikoleksi. Pengunjung dimungkinkan dapat mengikuti dan menjalani berbagai kegiatan yang ada dan dilakukan sebagaimana di kampung adat termasuk menjalani kehidupan berdasarkan tradisi di masing-masing kampung adat.

Sarana pendukung lain adalah tempat pertunjukkan kesenian tradisional yang dibuat dalam konteks aslinya dan tentu saja toko suvenir yang menjual produk budaya khas dari rumah antik Sunda tersebut berasal.

Jamaludin Wiartakusumah

Dosen Desain Itenas

Dimuat Kompas Jawa Barat rubrik Forum Rabu 11 Juni 2008


Kamis, 04 Desember 2008

Menuju Bandung Kota Budaya

Menuju Bandung Kota Budaya

Oleh JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/01/Jabar/28275.htm

Kota-kota dunia melahirkan sejumlah orang dalam bidangnya yang turut memberi sumbangan besar bagi kemajuan kota, negara, dan dunia. Sebagai upaya memperindah kota dan untuk mengabadikan mereka yang pernah berjasa dalam bidangnya, biasanya dibuatkan patung di taman atau plaza kota.

Sebut misalnya di Copenhagen, Denmark, selain patung raja di depan istana, di tepi trotoar Radhus Pladsen (alun-alun balaikota) Copenhagen terdapat patung Hans Christian Andersen, tokoh cerita anak-anak yang karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Di Helsinki, selain patung Tsar Rusia Alexander II yang berdiri megah di depan gedung senat-sebagai bukti sejarah bahwa Rusia pernah menguasai Finlandia-di Taman Esplanade terdapat patung penyair dan sastrawan besar Finlandia, JL Runeberg. Di kota kecil Toolo terdapat Monumen Sibelius yang didedikasikan untuk Jean Sibelius (1865-1957), komposer terbesar Nordik kebanggaan Finlandia.

Taman Kota Bandung tampaknya belum banyak memiliki koleksi patung figur tokoh terkenal yang diangkat dari berbagai khazanah budaya, seperti legenda, cerita rakyat, dan sejarah. Yang sudah ada adalah dari dunia olahraga, seperti patung pemain Persib yang belum cukup mewakili kebanggaan warga Kota Bandung, bukan karena prestasi Persib yang belakangan turun, melainkan hanya mewakili sepak bola.

Patung figur tokoh di Bandung masih dapat dihitung dengan jari, di antaranya patung setengah badan Ir H Djuanda di Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, Dago Pakar, yang mewakili dunia teknokrat perintis, dan R Dewi Sartika, perintis pendidikan kaum perempuan di Taman Balaikota Bandung. Adapun patung Jenderal Sudirman di depan Sesko AD merupakan figur militer yang menjadi bapak TNI, sama halnya dengan patung Husein Sastranegara, salah seorang perintis TNI AU. Patung tentara pelajar di Viaduk tentu untuk mengenang para pelajar pejuang di zaman revolusi. Sangkuriang-Si Kabayan

Salah satu yang mungkin dapat ditambahkan bagi Kota Bandung adalah patung figur yang menjadi ikon dalam legenda, sastra, dan intelektualitas yang memperkaya budaya dan sejarah Jawa Barat dan nasional. Dari cerita legenda Bandung, barangkali figur yang layak dibuat patung adalah tokoh dalam legenda Tangkubanparahu, seperti Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Dari dunia cerita rakyat barangkali figur Si Kabayan. Dari seni Sunda, dapat berupa penari jaipong atau tari merak. Daeng Sutigna, sebagai tokoh pembaru angklung tampaknya layak dibuat monumen, selain Mang Koko sebagai maestro musik kecapi. Sementara patung Mang Udjo ditempatkan di Saung Angklung Udjo, Padasuka. Tokoh Mang Lengser akan menjadi sosok menarik yang mewakili upacara adat Sunda.

Untuk menentukan wajah dan sosok tokoh dari dunia cerita rakyat atau legenda, barangkali dapat diambil dari pendapat umum mengenai gambaran seseorang sesuai karakternya. Sangkuriang, misalnya, tentu adalah sosok pemuda yang gagah perkasa dan ganteng dengan anatomi orang Sunda, bukan tokoh komik seperti Superman. Demikian juga tokoh Si Kabayan, tentu karakternya sesuai dengan antropometri lokal dan imajinasi kolektif orang Sunda terhadap dirinya.

Dari dunia akademis atau intelektual, dapat diambil sosok Prof Dr Husein Djayadiningrat, yang tidak hanya mewakili orang Jawa Barat, tetapi juga Indonesia karena pribumi pertama yang meraih gelar doktor dengan desertasinya mengenai sejarah Banten. Penghulu Haji Hasan Mustapa dapat mewakili dunia pemikiran atau filsafat Sunda. Dari dunia sastra, figur yang tepat mungkin adalah sosok Moehamad Moesa- Hoofdpanghulu Limbangan yang menciptakan karya monumental Wawacan Panji Wulung pada 1862 dan diterbitkan pertama kali pada 1871 oleh Landsdrukkerij (Mikihiro Moriyama: 2005).

Dari dunia perjuangan kemerdekaan, Otto Iskandardinata sangat layak dibuat patung. Jarang sekali yang mengetahui bahwa selain perjuangannya di Bandung dan Jakarta di sekitar tahun 1945, ia juga adalah orang pertama yang "menemukan" kata proklamasi untuk naskah yang dibacakan Bung Karno menggantikan kata maklumat yang semula ditulis Bung Karno dan yang monumental, pekik merdeka!

Lokasi penempatan patung-patung tersebut yang paling tepat adalah di kawasan Taman Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, dengan posisi berjajar dalam jarak tertentu memanjang di tepi taman ke arah selatan, yaitu ke arah Gasibu. Dengan demikian, monumen dengan desain modern yang gagah tetapi tampak steril dan "sekuler" itu akan terasa akrab dengan masyarakat sekitar sekaligus mendekatkan khazanah budaya yang dimiliki masyarakat Sunda kepada generasi muda.

Kota perintis perjuangan
Kota Philadelphia, Amerika Serikat, mendapat julukan "the city where America begins" karena kota itu menjadi tempat ditandatanganinya Konstitusi Amerika Serikat pada 1787. Dalam arti luas, dari kota itulah negara Amerika mulai didirikan. Julukan itu tidak untuk gagah-gagahan, tetapi semata untuk memupuk kecintaan warga yang akan melahirkan kepedulian tinggi dan juga untuk meningkatkan arus turis ke kota itu.

Selain sebagai kota yang dibangun pada masa kolonial dan menyisakan berbagai bangunan kolonial, dalam konteks sejarah kemerdekaan Indonesia, Kota Bandung juga tampaknya layak mendapat julukan seperti Philadelphia.

Perintisan perjuangan kemerdekaan yang memusat pada sosok Bung Karno berawal di Kota Bandung. Ya, Bandung-awal mula Indonesia-karena di Kota Bandunglah Bung Karno merintis pergerakan kemerdekaan Indonesia, dibantu dan didukung teman-teman seperjuangan yang orang Bandung, seperti Gatot Mangkoepraja.

Tempat atau lokasi bersejarah harus mendapat perlakuan khusus dan dapat menjadi objek wisata sejarah. Tentu dengan pemugaran seperlunya dan dirawat serta dibuatkan paket wisata sejarah. Kampus THS (sekarang ITB), rumah di Jalan Dewi Sartika bekas tempat tinggal Ibu Inggit Garnasih, yang juga menjadi kediaman Kusno (panggilan Ibu Inggit kepada Bung Karno), Gedung Landraad (sekarang Gedung Indonesia Menggugat), dan penjara Banceuy dan Sukamiskin adalah tempat-tempat di Bandung yang menjadi saksi perjuangan Bung Karno.

Juga yang tak kalah penting adalah karya Bung Karno, seperti dua rumah kembar di perempatan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Malabar. Kebanggaan itu semoga melahirkan rasa cinta warga Kota Bandung. Dengan demikian, warga akan turut serta dalam segala upaya meningkatkan kualitas kota sehingga dapat sejajar dengan kota kelas dunia.

Hal yang tidak kalah penting adalah menambah area hijau berupa taman. Lahan di bagian barat Gasibu potensial untuk itu, tidak perlu untuk gedung konvensi. Saya kira warga Bandung lebih membutuhkan taman terbuka hijau dibandingkan dengan gedung konvensi.

JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH Dosen Desain Itenas

Menggugat Istana Presiden

Dimuat Kompas Minggu Rubrik Desain, 18 mei 2003

Desain sebagai Simbol:
Menggugat Istana Presiden

Oleh: Jamaludin Wiartakusumah

DALAM waktu tidak lama lagi bangsa kita akan mengadakan hajatan nasional, yaitu memilih warga negara untuk dijadikan kepala negara dan berkantor di Istana Presiden di kawasan Gambir, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, beberapa puluh meter dari Tugu Monumen Nasional (Monas).

BANGSA kita, entah siapa yang memulai, menyebut dua bangunan di kawasan Gambir yang sekarang dijadikan kantor (dan kediaman resmi atau rumah dinas) presiden itu dengan nama mentereng dan gagah: Istana Negara dan Istana Merdeka.

Barangkali tanpa sadar, penamaan itu, di balik kekaguman khas bangsa inferior, secara langsung menjadi ironi bagi bangsa Indonesia. Mari sejenak lupakan "kebanggaan nasional" terhadap kedua gedung megah itu dan cobalah menggunakan cara pandang seperti ini: kedua gedung itu dulunya adalah kediaman atau rumah dinas sekaligus kantor gubernur jenderal pemerintah kolonial Belanda. Para gubernur jenderal itu bersemayam di sana sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Belanda nun di Eropa sana untuk melaksanakan administrasi pemerintahan negara jajahan bernama Hindia Belanda.

Ironisnya, sekarang bangunan itu dipakai sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia, presiden dari negara yang merdeka dan berdaulat. Yang membedakan zaman penjajahan dan kemerdekaan hanya orangnya: presiden sekarang adalah saudara sebangsa se-Tanah Air, sedangkan gubernur jenderal adalah orang asing. Gedungnya tetap itu-itu juga. Sepertinya tak pernah terlintas dalam pikiran nasionalis atau kebangsaan kita pertanyaan seperti ini: Apa betul, kepala negara bangsa sendiri yang adalah lambang negara merdeka berkantor di bekas kediaman dan kantor gembong penjajah negeri ini?

Seolah-olah presiden yang berkantor di sana hanya meneruskan apa yang pernah dilakukan pemerintahan kolonial dulu dalam pengertian negatif: menjalankan pemerintahan dengan kecenderungan untuk menindas rakyat Indonesia, atau bertindak seperti layaknya gubernur jenderal yang cenderung mengisap dan menjajah. Atau paling tidak, memiliki nuansa kolonial dan feodal. Dan, malangnya, kali ini, rakyat yang "dijajah" adalah bangsa sendiri.

Bangunan dan fungsi simbolis

Secara umum, selain mengakomodasi keperluan praktis sesuai penggunaan atau tujuan suatu bangunan didirikan, bangunan didesain dengan karakteristik tertentu sehingga memiliki makna simbolis yang tugasnya merepresentasi fungsi praktis tadi ke dalam bentuk-bentuk desain yang penuh muatan citra visual.

Ketika Indonesia merdeka, Bung Karno menggunakan gedung itu untuk kantor sekaligus kediamannya yang barangkali dengan satu tujuan: memberi tempat yang layak bagi kepala negara yang baru merdeka yang sayangnya hanya sejajar dengan gubernur jenderal. Seharusnya lebih tinggi karena gubernur jenderal hanya pemerintahan satelit alias perpanjangan tangan penguasa pusat yang dalam hal ini Ratu Belanda. Untuk memikirkan kantor dan kediaman presiden Indonesia, waktu itu, sepertinya belum terbayangkan. Yang ada adalah membangun monumen baru yang melambangkan atau mencerminkan perjuangan kemerdekaan bangsa.

Benar, bahwa pemerintahan harus disimbolkan oleh suatu bangunan yang memiliki karakteristik yang di samping gagah dan berwibawa, juga harus monumental. Untuk keperluan itu, bangunan istana presiden (Istana Merdeka dan Istana Negara) sudah tepat. Tetapi, ketika bangunan itu adalah bangunan peninggalan pemerintah kolonial, karakteristik kolonialismenya akan terus menempel pada bangunan oleh fakta sejarah: bangunan itu didirikan semata untuk kepentingan pemerintah kolonial dalam rangka mengatur negeri jajahan. Arsitek dan para gubernur jenderal Belanda waktu itu pastinya tidak pernah berpikir bahwa suatu saat gedung ini akan menjadi lambang Pemerintah Indonesia yang berdaulat adil dan makmur, tapi semata untuk keperluan merepresentasikan pemerintahan kolonialisme Belanda yang berkuasa terhadap tanah jajahannya, melambangkan kejayaan kerajaan Belanda, dan menunjukkan betapa bangsa Belanda adalah bangsa superior.

Barangkali dari cerita di atas bisa dipahami-dengan pikiran suudzon atau ultranasionalis super sayap kanan-pantas saja kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat di sana belum banyak artinya dalam upaya menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti yang dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya.

Rakyat tidak benar-benar merdeka. Bilapun merdeka, kemerdekaan itu dipahami sebagai hal yang rada semena-mena. Sekali Merdeka, Merdeka Sekali! Bila itu benar, jangan-jangan semua kekusutan yang diderita bangsa ini gara-gara salah memilih simbol itu: presiden masih berkantor dan berumah dinas di bangunan buatan pemerintah kolonial.

Tapi, ada yang menarik. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dibangun kantor presiden di sekitar Istana Negara yang diberi nama Bina Graha dengan langgam arsitektur modern tapi berinterior dengan ciri lokal, misalnya, dengan meja kerja Pak Harto yang penuh ukiran model Jepara. Ia memiliki peran simbolik: pemerintah bermaksud membangun negara dan bangsa dengan cara modern menuju masyarakat Indonesia modern, tapi dengan isi nasionalisme Indonesia. Sayang sekali faham Modernisme ini anti sejarah, anti masa lalu, dan hanya mengajarkan makna tunggal dan keseragaman, sementara Indonesia terdiri dari ratusan budaya suku-bangsa yang hingar bingar dengan sejarah masing-masing yang beragam dan panjang.

Nama dan kantor presiden: istana?

Orang Amerika-dalam kasus ini-seperti orang Sunda: memberi julukan pada gedung paling penting di masing-masing wilayahnya tidak dengan bahasa mentereng, cukup dengan bahasa sehari-hari yang akrab dan sederhana. Orang Amerika cukup dengan White House, untuk menunjuk rumah dinas merangkap kantor presidennya hanya karena bangunan seluruhnya bercat putih, tidak dengan nama White Palace, misalnya. sementara Kantor Gubernur Jawa Barat cukup dengan Gedung Sate, padahal semua orang tahu di gedung itu tidak ada dan mungkin tidak akan diizinkan orang jualan sate, paling di seberang jalannya. Terlepas dari bahwa kantor itu mungkin sekarang menjadi tempat menyate anggaran yang aslinya untuk kesejahteraan rakyat Jabar, julukan itu, menurut kuncen Bandung, Haryoto Kunto (1996), berasal dari ciri khas gedung yang dipuncaknya terdapat enam kotak besi berwarna hitam yang tersusun pada sebatang besi penangkal petir. Ya, mirip sate. Konon kotak besi hitam itu melambangkan jumlah dana yang dipakai pemerintah kolonial Belanda untuk membangun gedung itu. Bila satu kotak melambangkan satu juta gulden, berarti biaya pembangunan Gedung Sate menghabiskan enam juta gulden. Dari simbol sate itu saja kita memahami bahwa bangunan karya arsitek Ir J Gerber yang dibangun pada tahun 1920 itu dibangun oleh dan untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka memperkokoh posisinya sebagai penjajah terhadap Ibu Pertiwi. Istana Merdeka, Istana Negara di Jakarta, Istana Bogor, dan Gedung Sate serta gedung-gedung yang dibangun pemerintah kolonial Belanda tetap merupakan bangunan kolonial meskipun dihuni atau dipakai oleh bangsa sendiri. Mereka tidak akan pernah menjadi lambang kemerdekaan bangsa.

Istana Negara, dengan demikian, selamanya akan berlaku sebagai lambang kolonialisasi terhadap bumi pertiwi-bukan dan maaf-maaf saja-ia tidak akan pernah berhasil untuk dipakai sebagai simbol kemerdekaan bangsa di Nusantara. Monumen Nasional (Monas) yang dibangun atas gagasan cemerlang Bung Karno-untuk membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa merdeka-sepertinya tidak terlalu berhasil untuk hadir sebagai simbol yang mewakili perjuangan kemerdekaan bangsa karena beberapa ratus meter darinya ada gedung bekas kediaman dan kantor gubernur jenderal yang ironisnya sekarang dijadikan kantor (dan kediaman resmi) kepala negara. Istana gubernur jenderal itu seperti meredam kewibawaan (untuk tidak mengatakan melecehkan) Monas. Menjadi ironi yang tiada habisnya. Seperti kondisi sekarang, kedaulatan bangsa yang selalu dirongrong oleh badan-badan dunia. Seperti kondisi RI yang takut tidak bisa hidup sehingga tiap tahun minta utang pada IMF, CGI, atau lembaga dunia lain dan tidak marah ketika negara tetangga memberi kritikan yang berlebihan dan cenderung sok menggurui yang wilayahnya-bila dibanding Indonesia-hanya seluas sebuah kabupaten.

Nama Istana Merdeka menjadi ironi terhadap diri bangsa Indonesia dan gedung itu sendiri: yang merdeka adalah gedung itu sendiri, bukan rakyat Indonesia. Gedung itu tetap tegak dan malah dipelihara dengan rapi melebihi barak tentara penjaga negara serta berdiri gagah di tengah bangsa yang dulu dijajah penghuninya. Yang dulu diperjuangkan ternyata hanyalah mengusir orang bule dari negeri ini, tidak serta merta menghancurkan atau mengurangi citra kolonial yang menempel pada begitu banyak artefak peninggalan kolonialisme. Barangkali tidak menjadi masalah penting dan mendasar bila gedung-gedung warisan Belanda kita pakai untuk rumah tinggal orang biasa atau kantor lain, tapi bila untuk kantor kepala negara, rasanya tidak cukup membuat bangsa ini tegak dengan status kemerdekaannya yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan 45.

Kita berani merebut kemerdekaan, kita berani merebut gedung. Tapi kita belum berani menciptakan ikon baru yang maha penting bagi kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya: kantor dan rumah dinas kepala negara dan kepala provinsi yang mencerminkan sebuah karakter bangsa besar bernama Indonesia yang konon sangat kental dengan budaya luhur termasuk dalam seni bangunan.

Alangkah eloknya jika seorang Presiden RI berkantor dalam gedung dengan langgam bangunan yang dimiliki oleh bangsanya sendiri. Supaya kesan pusat yang berlambangkan bangunan kolonial seperti sekarang, tidak lagi memberi kesan "menjajah" daerah yang umumnya hadir dalam bentuk langgam arsitektur lokal yang telah disesuaikan dengan kebutuhan. Terlepas dari kaidah kepantasan menurut kaca mata Barat, terlepas dari intelektualitas estetika klasik hasil adopsi dari Barat yang nyata-nyata "menindas" dan "meminggirkan" langgam bangunan warisan leluhur bangsa yang sesungguhnya merupakan jati diri atau identitas bangsa yang merdeka. Untuk bangunan kantor presiden, begitu banyak langgam yang dimiliki tiap daerah di Nusantara, tinggal memilih atau mencampurnya kalau perlu, atau memilih salah satu berdasar karakter yang paling mewakili seperti terpilihnya bahasa Melayu Riau yang lalu dijadikan bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Kita bisa, kalau mau!

Jamaludin Wiartakusumah

Alumnus Magister Desain ITB Dosen Jurusan Desain Itenas

Selasa, 02 Desember 2008

Hikayat Kursi

Dimuat di Kompas
Minggu 2 Februari 2003

Hikayat Kursi
BILA dicari, benda apa yang meskipun biasa-biasa saja, tapi begitu menghebohkan dunia politik di Tanah Air, jawabnya adalah kursi. Hanya kursi. Bukan yang lain. Di dunia politik, istilah ’berebut kursi’ sering dipakai untuk meramaikan pemilihan umum (pemilu). Istilah itu bukan harfiah atau perumpamaan, ia benar-benar ’sekadar’ berebut kursi dalam arti sebenarnya. Kenapa kursi? Karena ia memberi tempat bagi kegiatan manusia yang sangat khas, duduk. Karena kursi di DPR berarti seonggok kekuasaan.
Selain oleh manusia, duduk dilakukan oleh hewan berkaki dua seperti monyet, kera, orangutan, dan gorila. Gara-garanya, ya, karena sama-sama memiliki sendi lutut dan pinggul serta postur tubuh relatif vertikal. Di dalam ilmu anatomi, konon ada tulang bernama "tulang duduk" yang letaknya tentu saja di belulang sekitar (maaf) pantat.

Nasib kursi memang beruntung dibandingkan dengan jenis mebel lain. Ia memiliki makna simbolis yang paling bergengsi yang tidak dimiliki mebel lain atau artefak desain lain. "Kedudukan" yang berasal dari "duduk" berarti kekuasaan. Tak heran bila kursi menjadi simbolnya. Istilah dalam perang atau zaman kolonialisasi, menduduki, berarti menguasai, tidak hanya duduk-duduk berjemur di pantai, misalnya.

Kata kursi sendiri berasal dari bahasa Arab, kursiyun. Kata ini terdapat dalam Al Qur’an. Masyarakat kita bahkan mengenal salah satu ayat yang diberi nama "Ayat Kursi". Dalam bahasa Arab, arash kurshi, diartikan (kira-kira) sebagai tempat yang teramat tinggi, agung dan mulia, lapisan yang di atasnya lagi hanya ada Tuhan.

Kursi dan tradisi duduk
Dahulu kala, duduk dilakukan orang pada obyek yang telah disediakan alam, seperti permukaan tanah, batu, batang pohon tumbang, dan sebagainya yang masih dilakukan sekarang di alam terbuka atau di hutan. Kebiasaan duduk di lantai secara dominan dilakukan di masyarakat nomaden, dan masyarakat menetap di Asia, termasuk Indonesia dan penganut agama Islam, karena salah satu kegiatan shalat adalah duduk di lantai. Tradisi ini melahirkan berbagai alas duduk seperti tikar, permadani di Timur Tengah, dan tatami di Jepang. Karena keperluan duduk di lantai, karpet yang sebenarnya sekadar pelapis permukaan lantai supaya empuk diinjak, di kita menjadi alas lantai untuk duduk juga. Kebiasaan duduk di lantai umumnya dilakukan pada masyarakat yang komunal- egaliter yang mengedepankan kebersamaan dan persamaan. Barangkali peribahasa kita, "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah" berasal dari duduk jenis ini. Bukan dari duduk di kursi yang memiliki ketinggian yang berbeda sehingga "tidak sama rendah" dan memiliki nilai individual.

Kebiasaan duduk dengan menggunakan fasilitas lutut dan tulang pinggul dan (maaf) pantat lalu berkembang. Pada beberapa situs ditemukan batu dalam bentuk yang diolah yang diketahui sebagai perlengkapan untuk duduk. Belakangan, pada awal kursi mulai dikenal, manusia menggunakannya untuk keperluan kekuasaan. Waktu itu hanya mereka yang memiliki kekuasaan atau kemuliaan saja yang berhak duduk di atas kursi, raja, ratu, atau penguasa jenis lain. Para penggawa cukup berdiri atau duduk di lantai. Ini, misalnya, dapat dilihat pada dinding Candi Borobudur atau piramid di Mesir.

Kursi sebagai media ekspresi
Kursi adalah salah satu dari jenis mebel yang karena memiliki fungsi khas bagi kegiatan manusia dengan segala simbol yang dilekatkan padanya, lalu menjadi media ekspresi para arsitek atau desainer untuk bereksperimen mewujudkan suatu gagasan. Karya-karya mereka membuat kursi-selain hal lainnya-juga lalu menjadi semacam barometer bagi perubahan sosial. Zaman biasanya memiliki ciri umum atau semangatnya, seperti zaman modern yang ditandai dengan kursi karya pelopor Modernisme yang sekarang menjadi klasik. Kursi Barcelona karya Mies van de Rohe dan Grand Comfort karya Le Corbusier, Wassily Chair karya Marcel Breuer, untuk menyebut karya dan nama, menjadi ikon desain modern kubu Bauhaus-Jerman. Adapun, desain kursi yang dianggap prototip desain modern adalah kursi Zigzag dan Merah-Biru karya desainer Belanda, Gerriet Rietveld, yang memvisualisasikan gagasan estetika de Stijl.

Sementara dari Skandinavia, kursi karya Hans J Wegner, Arne Jacobsen-keduanya dari Denmark-dan Alvar Aalto dari Finlandia, serta Bruno Matsson dari Swedia ikut memberi sumbangan besar ke dalam desain modern dengan warna tersendiri. Dari Amerika, muncul nama George Nelson, Charles & Ray Eames, dan Harry Bertoia. Desainer mebel Denmark, Hans J Wegner, dijuluki "Raja Kursi", karena desain kursi yang dihasilkannya melampaui siapa pun, 500 unit selama 60 tahun kariernya di dunia desain mebel. Wegner memulai membuat desain kursi dengan cara mereduksi dari kursi yang ada untuk dibuat lebih sederhana, baik dari segi bentuk maupun dari segi kuantitas material. "Desain kursi belum selesai sampai seseorang duduk di atasnya" adalah ungkapannya yang sangat terkenal yang menunjuk pada fungsi atau kegunaan sebuah kursi yang bukan apa-apa, hanya untuk duduk.

Setelah lama tidak terdengar di kancah mebel kontemporer, Perancis muncul melalui karya Philip Starck dengan garis-garis sensual khas Perancis. Sementara, Italia sudah sejak lama terkenal dengan desain-desain yang sangat berani, baik dalam segi penggunaan bentuk dan pemakaian material.

Kursi untuk rumah Indonesia
Meskipun kita tumbuh dalam tradisi mebel berukir yang kuat, kita bahkan memiliki daerah yang terkenal dengan itu, Jepara, kiranya tidaklah berlebihan jika kita juga hendaknya melihat besaran rumah yang ada. Mebel-mebel berukir memerlukan ruangan yang relatif besar. Selain karena warna kayu jati, mahoni, atau nyatoh yang cenderung tua akan memberi kesan ruangan gelap, juga karena masalah keleluasaan visual di dalam ruangan. Mebel yang relatif praktis untuk hunian dengan ruangan yang relatif kecil sebaiknya mebel dengan desain praktis, bersih dari ornamen dan untuk kemudahan mobilitas, mebel yang dapat dibongkar-pasang (knock down).

Salah satu unsur dalam desain adalah nostalgia. Mebel-mebel antik di pasang di rumah untuk keperluan itu mengingatkan pada sejarah. Sebaiknya-seperti juga mebel berukir-tempatkan dalam jumlah sedikit supaya kehadirannya terasa dan dibuat kontras dengan koleksi lainnya.
Dalam desain mebel, ukiran pada permukaannya memiliki makna yang barangkali seperti pangkat dalam baju tentara: semakin banyak, semakin tinggi jabatannya, yang dalam desain mebel, barangkali lebih dipahami sebagai lebih mewah atau semakin mahal. Padahal, belum tentu semakin indah apalagi -ukiran itu-berfungsi praktis.

Kursi dan kenyamanan
Duduk di kursi memang menyenangkan dibandingkan duduk pada batu atau kayu seperti dilakukan di hutan. Akan tetapi, masing-masing orang memiliki daya tahan melakukan duduk. Kursi yang nyaman sekalipun-umumnya didesain dengan mempertimbangkan ergonomi-akan tetap membuat pegal badan karena faktor lamanya waktu duduk berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan masing-masing pemakai. Jok di pesawat atau mobil sedan relatif nyaman, tetapi ketika duduk dari Frankfurt ke Jakarta atau bermobil dari Jakarta ke Bali, seberapa nyamannya jok tetap saja membuat badan pegal. Jadi, bukan kursi yang salah, tetapi Anda duduk terlalu lama!

Jamaludin Wiartakusumah Pemerhati masalah desain tinggal di Bandung